Pada
Selasa, 8 Januari 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi membuat putusan mengejutkan
perihal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) dengan membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI dan SBI.
Mahkamah
Konstitusi menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.
Para
hakim konstitusi membongkar sejumlah cacat filosofis dalam RSBI dan SBI.
"Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan dualisme pendidikan, serta
berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi," kata Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Sementara
hakim konstitusi Anwar Usman menyoroti pembedaan sarana dan prasarana,
pembiayaan dan pendidikan SBI/RSBI dari sekolah lain akan mencipta perlakuan
berbeda kepada sekolah dan siswa.
"Ini
bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang
sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik
pemerintah," kata Anwar.
Taraf atau Tarif
Polemik
baru segera muncul. Guru dan orangtua pun berbeda pandangan soal
inkonstitusionalisasi RSBI ini.
"RSBI
adalah terobosan dalam tingkatkan pendidikan dan perlu," kata Wakil Kepala
Sekolah SMAN 12 Jakarta, Mulyanto.
Mulyanto
menyayangkan kritik terhadap RSBI selalu berpusat pada sisi biaya yang memang
di atas persekolahan biasa.
Dia
menilai sekolah bagus tak hanya ditentukan oleh seleksi siswa, tapi juga
kemampuan sama bagusnya antara guru dan siswa.
Untuk
menghadirkan kondisi ideal ini tentu memerlukan kelengkapan-kelengkapan khusus
yang berkonsekuensi biaya besar. Pada
tingkat ini seharusnya negara yang lebih berperan, bukan dikembalikan pada
masyarakat.
Mulyanto
menyayangkan kesalahan dan kekeliruan praktikal RSBI membuat sistem yang
dianggapnya baik ini, harus terkorbankan. "Jangan bakar lumbungnya, tapi
perbaikilah," kata dia.
Pandangan
berbeda diutarakan Mathius Sadmoko Murti, Kepala Sekolah SMA Regina Pacis,
Jakarta, yang mengaku tidak tahu menahu RSBI.
"Hanya
saja sering ada ledekan, bukan taraf internasional tapi tarif internasional,
karena SDM-nya atau guru-guru-nya tidak khusus," kata Mathius.
Dia
sendiri tidak menyetujui RSBI.
"Kami (Regina Pacis) tidak
menyelenggarakan RSBI karena belum mengetahui persis aturannya," sambung
Mathius.
Namun,
meski tidak menentang putusan inkonstitusionalisasi RSBI oleh Mahkamah Konstitusi,
Mathius menyayangkan putusan itu keluar saat tahun ajaran tengah berjalan dan
ini memperpelik masa depan kerjasama yang telah dilakukan sekolah dengan pihak
lain.
"Kasihan
orangtua dan guru. Pihak sekolah dan pihak orangtua," kata Mathius.
Bahasa Asing
Pandangan
orangtua juga terbelah. Ada yang sejalan dengan pandangan Mahkamah
Konstitusi. Ada pula yang menilai
positif RSBI di tengah menurunnya kualitas pendidikan nasional dalam beberapa
masa terakhir.
"Buat
apa sih negara bikin RSBI? Itu kan akhirnya cuma memicu kesenjangan sosial,
yang punya duit bisa tambah pinter, tapi yang nggak punya duit, ya dapat
seadanya," kata Nastiti Wulandari, ibu rumah tangga berdomisili di daerah
Tebet, Jakarta Selatan.
Nastiti
menilai sekolah milik negara di Indonesia belum bisa menggunakan konsep RSBI.
Sementara
Rini Abed, bertempat tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, mempertanyakan konsep
internasional dalam RSBI.
"Kalau
konsep internasionalnya berupa guru asing, Bahasa Inggris sebagai pengantar,
dan ujian tambahan di akhir tahun ajaran, yaa itu masih perlu ditinjau
ulang," kata Rini.
Rini
khawatir, karena tak membiasakan Bahasa Indonesia di kelas, RSBI dapat memicu
lunturnya nasionalisme anak muda, kendati diakuinya banyak faktor yang bisa
melunturkan nasionalisme.
Bahkan
pakar sosiolinguistik Prof Fathur Rokhman menyebut kecondongan RSBI menggunakan
Bahasa Inggris telah membuat Bahasa Indonesia kalah gengsi.
"Memang tidak semua. Namun, lihat saja
papan nama untuk ruang-ruang di sekolah RSBI. Banyak yang memakai istilah
Bahasa Inggris, misalnya library (untuk perpustakaan)," katanya di
Semarang, Rabu.
Tetapi,
Reshma, ibu artis cilik Nizam Hasan, menilai
nasionalisme tidak hanya ditekankan di sekolah.
"Keluarga
sebagai tempat pendidikan dasar anak, punya peran penting untuk menumbuhkan
nasionalisme anak. Pendidikan boleh luar negeri, tapi kita orang Indonesia,
seharusnya diajari budaya Indonesia," kata Reshma.
Namun, berbeda dari Nastiti, Reshma menganggap
Indonesia memerlukan RSBI. "Kita semua tahu pendidikan (taraf)
internasional memang lebih bagus," kata dia.
Tuntutan Tinggi
Sebaliknya,
Anjelika Wijaya, ibu tiga anak, menganggap membuat pandai bangsa tak perlu
dengan menghadirkan sekolah taraf internasional.
"Kalau
anak belajar di sekolah bertaraf internasional, apa bisa dibilang pandai?
Banyak anak stres karena tekanan sekolah. Kurikulumlah yang harus
diperbaiki," tegas Anjelika.
Anjelika
mencontohkan anak bungsunya yang kini duduk di kelas lima SD yang kewalahan
oleh bertumpuknya tugas sekolah.
Dia
iba pada anak sekolah sekarang yang kehilangan waktu bermain dan bercengkerama
dengan orang-orang tercintanya, karena banyaknya tuntutan sekolah.
"Kurikulumnya
juga masih berantakan. Kalaupun dicampur kurikulum asing, bayangkan beban
siswanya yang semakin tidak punya waktu bermain, dan orang tuanya harus
membayar ekstra untuk pendidikan yang mahal itu," keluh Anjelika.
Mereka
patut didengar, karena pendidikan, bukan melulu soal prestasi, apalagi prestise
dan modal, sebaliknya menyangkut juga jati diri dan pembangunan karakter.
Sejauh
ini, pemerintah sendiri sigap menindaklanjuti "koreksi
konstitusional" dari Mahkamah Konstitusi ini. "Apapun putusan itu, kami akan
menghargai, dan tetap menjalankannya," kata Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh.
Namun
Nuh mengingatkan siswa-siswa berprestasi sudah sewajarnya ditangani secara
khusus, demi membuat mereka bisa terus berkembang.
Kini
semua menanti langkah pemerintah berikutnya, tentunya yang sungguh menjawab
kekurangan filosofis seperti diutarakan Mahkamah Konstitusi, dan tidak memoles
produk lama menjadi seolah-olah baru.
"Jangan
membangkitkan kembali roh RSBI dengan nama lain," kata Sekretaris Jenderal
Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti.
Referensi : news.detik.com
0 komentar:
Posting Komentar